Arka Rapdi Rakasiwi Penulis indie asal Bangka Belitung |
Setiap orang yang gemar menulis atau memilih menulis sebagai profesinya tentunya ingin dia menjadi penulis yang handal, menghasilkan karya-karya yang bermutu, banyak dibaca orang, dan menjadi best seller. Kebanggaan seorang penulis adalah pada sejumlah artikel atau buku yang dihasilkannya. Tapi jalan untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Di Indonesia, relatif sedikit saja penulis yang karyanya bisa best seller, seperti Asma Nadia, Dewi Lestari, Andrea Hirata, Raditya Dika, Habiburrahman Elshirazy, dan sebagainya.
Karya-karya mereka menjadi best seller, bahkan telah dibuat menjadi film atau sinetron. Karya-karya mereka pun ditunggu-tunggu oleh penerbit karena penerbit sudah mengetahui kualitas tulisannya, dan secara ekonomi, buku-buku khususnya novel-novel yang ditulisnya mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para penggemar setianya. Secara ekonomi, baik penulis maupun penerbit tentunya akan mendapatkan keuntungan. Setelah bukunya booming di pasaran, mereka tinggal menikmati hasil kerjanya.
Para penulis tersebut tentunya menempuh jalan yang penuh liku sebelum setenar sekarang. JK Rowling, penulis Novel Harry Potter sebelum novelnya laris di pasaran, naskahnya banyak ditolak oleh penerbit, tetapi setelah novelnya diterbitkan oleh sebuah penerbit, kemudian dibuat menjadi film dan mencapai box office di Hollywood, mengubah kehidupan JK Rowling yang asalnya sebatangkara menjadi seorang milyuner.
Ketika sebagian kecil penulis tenar menikmati pundi-pundi hasil perjuangannya, banyak penulis pemula dan penulis indie yang saat ini masih berjuang untuk eksis di dunia menulis. Mengajukan naskah untuk diterbitkan oleh penerbit tidaklah mudah. Banyak naskah yang diajukan penulis ditolak oleh penerbit dengan berbagai alasan seperti naskahnya kurang layak, idenya kurang menarik, ada penulis lain yang telah membahas hal yang sama, atau prospekya kurang menjanjikan alias takut tidak laku di pasaran, karena menurut Saya, penerbit melihat sebuah buku bukan semata-mata sebagai karya intelektual, tetapi sebagai barang dagangan. Dan kalau bicara dagang, maka pertimbangannya adalah untung-rugi.
Ketika seorang penulis sulit menerbitkan bukunya di penerbit besar, maka solusinya adalah menerbitkan buku secara self publishing melalui jasa-jasa penerbit indie. Di penerbit indie, buku pasti terbit dan tidak perlu menunggu lama-lama. Penerbit indie banyak tersebar di beberapa kota seperti Jogjakarta, Solo, Jakarta, dan Bandung. Bahkan banyak menawarkan jasa self publishing melalui internet.
Di penerbit indie, penulis bebas menentukan sendiri berapa eksemplar buku yang mau dicetak, dan juga memiliki nomor ISBN. Aturannya, semakin banyak buku yang dicetak, maka biaya cetaknya pun semakin murah. Ada penulis yang mencetak buku hanya puluhan saja sebagai dokumentasi atau hanya untuk cinderamata saja.
Konsekuensi sebagai penulis indie adalah sang penulis harus membiayai sendiri penerbitan bukunya sekaligus mengedarkannya. Bak pedagang asongan, penulis indie harus menawarkan barang dagangannya. Tapi ada juga “membuka lapak” di media sosial seperti FB, Twitter, dan Instagram, serta toko-toko online. Penulis indie juga memanfaatkan komunitas atau kelompok tertentu sebagai sarana menjual buku-bukunya.
Penulis indie harus bekerja keras dan harus memiliki sasaran pasar yang jelas kalau bukunya ingin laku. Walau demikian, ada penerbit indie yang juga membantu mengedarkan ke toko-toko buku dengan melalui jasa distributor, tapi tentunya sang penulis harus berbagi persentase keuntungan dengan penerbit, distributor, dan toko buku.
Ada kasus dimana seorang penulis indie sulit untuk memasarkan bukunya. Bukunya menumpuk begitu saja, tidak jelas akan dijual kemana. Hal tersebut terjadi mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sasaran pembaca bukunya kurang jelas. Kedua, buku yang ditulisnya kurang memiliki karakteristik atau keunggulan khusus. Ketiga, kurang aktif memasarkan bukunya melalui media sosial. Dan Keempat, tidak memiliki komunitas sebagai sarana memasarkan bukunya.
Berdasarkan kepada hal di atas, seorang penulis indie, ketika mau menulis buku untuk dipasarkan, harus mempelajari dulu jenis buku apa yang akan ditulis? siapa sasaran pembacanya? dan bagaimana cara memasarkannya? agar buku-buku tersebut tidak menjadi karya yang hanya dibaca sendiri atau segelintir orang. Bagi penikmat buku, mereka tidak mempersoalkan apakah buku tersebut diterbitkan oleh penerbit besar atau penerbit indie, yang penting adalah isi atau bahasannya, dan telah mengenal penulisnya. So, maju terus penulis indie. (Rapdi)